Dialog antarbudaya mahasiswa UGM dengan mahasiswa AS. (Foto: dok. UGM)
JAKARTA - Memahami budaya bangsa lain dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui dialog seperti yang dilakukan Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang mendatangkan mahasiswa asal Amerika Serikat (AS).
Tujuh mahasiswa yang berasal dari berbagai negara bagian di AS itu bertukar pengalaman, pengetahuan, dan pandangan tentang Indonesia dan Amerika. Ketujuh mahasiswa AS tersebut adalah Andee, Shelly, Markie, Emma, Jaciy, Alex, dan Monika. Sedangkan mahasiswa dari Indonesia terdiri atas Monica, Afdhal, Ayunistya, Michael, Daru Indrajati, Evan, Hastangka, dan Canggih.
Andee mengatakan, sistem pendidikan di Amerika memiliki struktur yang sama dengan pendidikan di negara-negara lain. Pada kesempatan tersebut dia pun menjelaskan tentang bagaimana perkembangan agama-agama di Amerika Serikat. "Agama di AS mengandung konsep dua hal, yaitu religiusitas dan spiritualitas," tutur Andee, seperti dilansir laman UGM, Jumat (22/2/2013).
Sementara itu, mahasiswa AS lainnya, yakni Shelly mengangkat topik tentang imigrasi dan pariwisata. Saat ini, kata Shelly, Amerika menjadi tujuan utama bagi para imigran untuk mendapatkan status kewarganegaraan dan pekerjaan. “Banyak orang dari negara lain mencari green card dengan alasan pekerjaan yang lebih baik kesetaraan hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi,” ujar Shelly.
Ketika tiba giliran mahasiswa Indonesia menjadi pembicara, mereka mengangkat tentang ragam kuliner nusantara, pendidikan, hingga budaya anak muda. Monica, misalnya, membahas tentang bagaimana spirit dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencari nafkah.
Monica mencontohkan seorang pengayuh becak bisa menyekolahkan anaknya di Fakultas Kedokteran UGM. Meskipun sebagai pengayuh becak yang sederhana dan pendapatannya tidak besar, dia sanggup menghidupi keluarga dan anak-anaknya sampai bisa lulus perguruan tinggi. “Inilah spirit bangsa Indonesia dalam memaknai hidup dan perjuangan hidup,” ungkap Monica.
Dia juga mencontohkan tentang ibu gendong yang setiap pagi selalu membawa barang-barang dagangan ke pasar. Walaupun memasuki usia senja, sang ibu tetap berjuang untuk membawakan barang dagangannya dengan berat hingga 10 kg setiap pagi. “Jelang dini hari mereka bangun dan membawa barang-barang itu ke pasar,” paparnya.
Panitia penyelenggara diskusi bertajuk “It’s All About Indonesia and the US” Hastangka menyampaikan, dialog budaya mahasiswa Amerika dan Indonesia ini menjadi ajang untuk berbagi pengalaman. Diskusi yang rutin diselenggarakan tiap tahun ini menjadi ruang dialektika eksistensi keberagaman dari kehidupan nyata para intelektual muda untuk saling mengenal lebih dekat suatu bangsa melalui dialog.(rfa)
Tujuh mahasiswa yang berasal dari berbagai negara bagian di AS itu bertukar pengalaman, pengetahuan, dan pandangan tentang Indonesia dan Amerika. Ketujuh mahasiswa AS tersebut adalah Andee, Shelly, Markie, Emma, Jaciy, Alex, dan Monika. Sedangkan mahasiswa dari Indonesia terdiri atas Monica, Afdhal, Ayunistya, Michael, Daru Indrajati, Evan, Hastangka, dan Canggih.
Andee mengatakan, sistem pendidikan di Amerika memiliki struktur yang sama dengan pendidikan di negara-negara lain. Pada kesempatan tersebut dia pun menjelaskan tentang bagaimana perkembangan agama-agama di Amerika Serikat. "Agama di AS mengandung konsep dua hal, yaitu religiusitas dan spiritualitas," tutur Andee, seperti dilansir laman UGM, Jumat (22/2/2013).
Sementara itu, mahasiswa AS lainnya, yakni Shelly mengangkat topik tentang imigrasi dan pariwisata. Saat ini, kata Shelly, Amerika menjadi tujuan utama bagi para imigran untuk mendapatkan status kewarganegaraan dan pekerjaan. “Banyak orang dari negara lain mencari green card dengan alasan pekerjaan yang lebih baik kesetaraan hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi,” ujar Shelly.
Ketika tiba giliran mahasiswa Indonesia menjadi pembicara, mereka mengangkat tentang ragam kuliner nusantara, pendidikan, hingga budaya anak muda. Monica, misalnya, membahas tentang bagaimana spirit dan perjuangan bangsa Indonesia dalam mencari nafkah.
Monica mencontohkan seorang pengayuh becak bisa menyekolahkan anaknya di Fakultas Kedokteran UGM. Meskipun sebagai pengayuh becak yang sederhana dan pendapatannya tidak besar, dia sanggup menghidupi keluarga dan anak-anaknya sampai bisa lulus perguruan tinggi. “Inilah spirit bangsa Indonesia dalam memaknai hidup dan perjuangan hidup,” ungkap Monica.
Dia juga mencontohkan tentang ibu gendong yang setiap pagi selalu membawa barang-barang dagangan ke pasar. Walaupun memasuki usia senja, sang ibu tetap berjuang untuk membawakan barang dagangannya dengan berat hingga 10 kg setiap pagi. “Jelang dini hari mereka bangun dan membawa barang-barang itu ke pasar,” paparnya.
Panitia penyelenggara diskusi bertajuk “It’s All About Indonesia and the US” Hastangka menyampaikan, dialog budaya mahasiswa Amerika dan Indonesia ini menjadi ajang untuk berbagi pengalaman. Diskusi yang rutin diselenggarakan tiap tahun ini menjadi ruang dialektika eksistensi keberagaman dari kehidupan nyata para intelektual muda untuk saling mengenal lebih dekat suatu bangsa melalui dialog.(rfa)