Detikplus, Makassar
- Terik matahari menemani langkah menapaki pematang-pematang tambak di
Desa Talaka, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkajene, Kepulauan
(Pangkep), Selasa pekan lalu. Angin yang bertiup lembut menerpa menjadi
penyemangat. Tapi sebaiknya Anda berhati-hati dalam melangkah.
Perhatikan jalan! Salah melangkah, bisa-bisa Anda tercebur ke dalam
empang.
Tak sampai 10 menit berjalan kaki, kami sampai di tepi Sungai Lengkonge. Di sana, dua perahu jolloro sudah menunggu, siap menyeberangkan kami ke empang Tala, tempat Asdar Muis RMS—esais, novelis, dan penyiar radio—menjamu tamunya. Untuk naik ke perahu, Anda harus ekstra-hati-hati dalam melangkah jika tak ingin kaki Anda dilumat lumpur.
Saya memilih meniti akar-akar bakau agar tak menjejak lumpur. Setelah bersusah-payah, saya akhirnya berhasil naik ke perahu, tapi jantung tetap berdebar-debar. Sedikit saja bergoyang, perahu akan oleng dan bisa-bisa terbalik. Perahu hanya muat untuk enam penumpang, ditambah nakhoda. Jumlah ini ternyata sudah cukup berat, perahu agak kandas, sehingga kami harus membantu mendayung perahu. Setelah sampai di tengah sungai, barulah mesin dinyalakan. Dan mulailah petualangan menyusuri sungai berdinding bakau.
Pangkep adalah kependekan dari Pangkajene Kepulauan. Konon asal kata Pangkajene sendiri berarti sungai besar yang membelah Kota Pangkep. Pangka berarti cabang dan je’ne berarti air. Cukup pas, karena ada banyak cabang sungai di Pangkep, termasuk Sungai Lengkonge ini.
Pangkep punya lima sungai cukup besar yang mengalir dari timur ke barat Kabupaten Pangkep, yakni Sungai Tabo-tabo yang terletak di Kecamatan Labbakang, Sungai Segeri di Segeri, Leang Lonrong di Minasate’ne, Bantimaka di Tondong Tallasa, dan Sangkara di Minasate’ne. Muara semua sungai ini langsung ke laut, sehingga airnya masih dipengaruhi kondisi pasang-surut.
Laju perahu jolloro yang saya tumpangi semakin kencang, tapi sesi pengambilan gambar alias foto-foto tak terlewatkan. Apalagi jika kami berpapasan dengan bangau putih yang bertengger di antara pohon-pohon bakau. Beberapa rumah panggung juga berdiri di tepi sungai, tapi jumlahnya tak banyak, itu pun saling berjauhan satu sama lain.
Di perjalanan, kami berpapasan dengan perahu milik warga: ada yang membawa hasil tangkapan ikan, rumput laut, bahkan ada yang mengangkut anak sekolah. Perahu kami juga melintasi terowongan di bawah jembatan penyeberangan. Kurang dari 15 menit, perjalanan singkat yang menyenangkan dengan perahu jolloro berakhir di dermaga kecil, tepat di belakang rumah panggung milik keluarga yang punya gawe.
Belum sempat turun dari perahu, aroma ikan bakar dan sambal kacang tomat sudah menyambut. Yummy, karena lapar, dengan sigap saya mengambil piring, lalu ke tepi empang, tempat ikan-ikan itu dibakar. Pilihannya ikan mas dan bandeng. Karena potongan ikan masnya cukup besar, saya akhirnya memilih tak makan nasi. Mengingat Pangkep terkenal dengan suguhan ikan bakarnya yang tiada tanding.
Langit biru menyelimuti siang yang begitu terik, tapi hawanya tak begitu panas, karena angin bertiup begitu ramah. Setelah menikmati seekor ikan, santap siang saya lanjutkan dengan menikmati es buah. Tak hanya itu, sang tuan rumah juga menyuguhkan penganan-penganan tradisional, seperti putu cangkir, pisang goreng, dan singkong goreng.
Lengkap sudah perjalanan saya hari ini. Selain objek wisata agro hutan bakau, Pangkep menawarkan beberapa objek lain, seperti taman rekreasi dan permandian alam Mattampa, Tombolo, Leang Surukang, serta Amputtang. Ada pula Taman Purbakala Sumpang Bita di Kecamatan Balocci. Selain itu, objek wisata prasejarah Leang Alle Masigi, Leang Lompoa, Leang Kajuara, Leang Camming Kana, dan Gua Batara Lamara.
Ada juga suguhan wisata budaya Pa’Bissu—pendeta ala Bugis—yang terkenal dengan tari Maggiri, yakni tarian yang memamerkan kekebalan para bissu dengan menancapkan keris ke perut dan lehernya. Karena wilayah Pangkep mayoritas kepulauan, daerah ini memiliki potensi wisata bahari yang besar, di antaranya taman laut Kapoposang.
Tak sampai 10 menit berjalan kaki, kami sampai di tepi Sungai Lengkonge. Di sana, dua perahu jolloro sudah menunggu, siap menyeberangkan kami ke empang Tala, tempat Asdar Muis RMS—esais, novelis, dan penyiar radio—menjamu tamunya. Untuk naik ke perahu, Anda harus ekstra-hati-hati dalam melangkah jika tak ingin kaki Anda dilumat lumpur.
Saya memilih meniti akar-akar bakau agar tak menjejak lumpur. Setelah bersusah-payah, saya akhirnya berhasil naik ke perahu, tapi jantung tetap berdebar-debar. Sedikit saja bergoyang, perahu akan oleng dan bisa-bisa terbalik. Perahu hanya muat untuk enam penumpang, ditambah nakhoda. Jumlah ini ternyata sudah cukup berat, perahu agak kandas, sehingga kami harus membantu mendayung perahu. Setelah sampai di tengah sungai, barulah mesin dinyalakan. Dan mulailah petualangan menyusuri sungai berdinding bakau.
Pangkep adalah kependekan dari Pangkajene Kepulauan. Konon asal kata Pangkajene sendiri berarti sungai besar yang membelah Kota Pangkep. Pangka berarti cabang dan je’ne berarti air. Cukup pas, karena ada banyak cabang sungai di Pangkep, termasuk Sungai Lengkonge ini.
Pangkep punya lima sungai cukup besar yang mengalir dari timur ke barat Kabupaten Pangkep, yakni Sungai Tabo-tabo yang terletak di Kecamatan Labbakang, Sungai Segeri di Segeri, Leang Lonrong di Minasate’ne, Bantimaka di Tondong Tallasa, dan Sangkara di Minasate’ne. Muara semua sungai ini langsung ke laut, sehingga airnya masih dipengaruhi kondisi pasang-surut.
Laju perahu jolloro yang saya tumpangi semakin kencang, tapi sesi pengambilan gambar alias foto-foto tak terlewatkan. Apalagi jika kami berpapasan dengan bangau putih yang bertengger di antara pohon-pohon bakau. Beberapa rumah panggung juga berdiri di tepi sungai, tapi jumlahnya tak banyak, itu pun saling berjauhan satu sama lain.
Di perjalanan, kami berpapasan dengan perahu milik warga: ada yang membawa hasil tangkapan ikan, rumput laut, bahkan ada yang mengangkut anak sekolah. Perahu kami juga melintasi terowongan di bawah jembatan penyeberangan. Kurang dari 15 menit, perjalanan singkat yang menyenangkan dengan perahu jolloro berakhir di dermaga kecil, tepat di belakang rumah panggung milik keluarga yang punya gawe.
Belum sempat turun dari perahu, aroma ikan bakar dan sambal kacang tomat sudah menyambut. Yummy, karena lapar, dengan sigap saya mengambil piring, lalu ke tepi empang, tempat ikan-ikan itu dibakar. Pilihannya ikan mas dan bandeng. Karena potongan ikan masnya cukup besar, saya akhirnya memilih tak makan nasi. Mengingat Pangkep terkenal dengan suguhan ikan bakarnya yang tiada tanding.
Langit biru menyelimuti siang yang begitu terik, tapi hawanya tak begitu panas, karena angin bertiup begitu ramah. Setelah menikmati seekor ikan, santap siang saya lanjutkan dengan menikmati es buah. Tak hanya itu, sang tuan rumah juga menyuguhkan penganan-penganan tradisional, seperti putu cangkir, pisang goreng, dan singkong goreng.
Lengkap sudah perjalanan saya hari ini. Selain objek wisata agro hutan bakau, Pangkep menawarkan beberapa objek lain, seperti taman rekreasi dan permandian alam Mattampa, Tombolo, Leang Surukang, serta Amputtang. Ada pula Taman Purbakala Sumpang Bita di Kecamatan Balocci. Selain itu, objek wisata prasejarah Leang Alle Masigi, Leang Lompoa, Leang Kajuara, Leang Camming Kana, dan Gua Batara Lamara.
Ada juga suguhan wisata budaya Pa’Bissu—pendeta ala Bugis—yang terkenal dengan tari Maggiri, yakni tarian yang memamerkan kekebalan para bissu dengan menancapkan keris ke perut dan lehernya. Karena wilayah Pangkep mayoritas kepulauan, daerah ini memiliki potensi wisata bahari yang besar, di antaranya taman laut Kapoposang.