Jakarta - Keberanian Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk membenahi Kota
Jakarta dan dengan gaya kerjanya yang selalu blusukan ke
kampung-kampung telah sukses memikat hati bukan hanya warga Jakarta, tetapi
juga rakyat Indonesia di berbagai provinsi lain.
Banyak yang menginginkan pria yang akrab disapa Jokowi ini maju menjadi calon presiden (capres) dalam pemilu 2014 mendatang. Namun tidak sedikit pula warga yang menginginkan Jokowi menyelesaikan tugas pengabdiannya dalam membangun ibu kota hingga 2017.
Meski banyak lembaga survei yang menyatakan peluang mantan Wali Kota Solo ini sangat besar menjadi capres, namun beberapa pengamat politik memperingatkan bahwa pencapresan Jokowi akan menimbulkan konflik antara kebutuhan rakyat versus kepentingan politik pragmatis.
Pengamat politik senior dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menegaskan sudah banyak survei-survei yang dilakukan berbagai lembaga yang menyatakan Jokowi menduduki peringkat teratas dari banyak calon presiden (capres) yang telah mengajukan diri atau diusulkan oleh elite partai politik.
Keberadaan Jokowi menjadi Presiden RI pada tahun 2014, menurutnya, tidak lagi dilihat sebagai sudah waktunya bagi pria kelahiran Solo tersebut, agar mengembangkan sayapnya ke istana. Melainkan, sudah dilihat sebagai sebuah kebutuhan warga Indonesia atas sosok pemimpin yang baru, transparan dan merakyat.
“Jadi bukan karena sudah waktunya Jokowi maju menjadi capres, karena dia baru satu tahun sebagai Gubernur DKI. Banyak pekerjaan yang belum selesai dia lakukan dalam membangun Jakarta. Tetapi, saat ini, faktor keperluan terhadap sosok pemimpin yang baru dan merakyat paling berperan. Indonesia memerlukan dia sekarang. Makanya di survei-survei, banyak masyarakat menganggap Jokowi pantas menjadi Presiden RI selanjutnya,” kata Arbi kepada Beritasatu.com, Minggu (29/12).
Dari satu tahun kepemimpinannya di Jakarta, cara peraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award 2010 ini dalam menjalankan kekuasaannya dikenal sangat santun, dekat pada rakyat, apa adanya, sederhana, transparan dan lebih terbuka kepada warga yang membutuhkan pertolongannya.
“Cara-cara dia melakukan kekuasaannya telah menjadi kebutuhan rakyat Indonesia. Karena capres-capres lainnya tidak bisa memberikan apa yang dibutuhkan rakyat Indonesia terhadap sosok pemimpin. Hanya Jokowi yang dibutuhkan rakyat saat ini,” kata Arbi.
Hal itu terbukti, ungkapnya, dari survei berdasarkan tingkat elektabilitas, Jokowi selalu merajai hasilnya. Baru satu tahun dia memimpin Jakarta, pria yang juga pengusaha mebel ini sudah berada di atas angin. Hati dan mata warga sudah tertuju pada sosok pria bertubuh kurus dan tinggi ini.
“Memang untuk menjadi capres, harus ada partai politik yang menaungi dan mendukung Jokowi. Tetapi tetap saja rakyat yang menentukan terpilih atau tidaknya seorang capres. Karena itu warga Jakarta tidak boleh mengeluh ditinggalkan Jokowi. Karena kalau Indonesia tidak dipegang oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya, maka akan hancurlah negeri ini,” tegas Arbi.
Merajai Hasil Survei
Apa yang disampaikan oleh Arbi hanya menggarisbawahi hasil berbagai jajak pendapat. Dari beberapa hasil survei yang dapat dirangkum DetikPlus selama satu tahun ini, baik yang dilakukan di Jakarta maupun di provinsi lain, Jokowi mengalahkan para tokoh politik yang jauh lebih senior.
Misalnya hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI), duet Jokowi dengan Hatta Rajasa dianggap sebagai pasangan capres dan cawapres paling ideal. Keduanya dinilai merepresentasikan nasionalis-Islam, sehingga cocok menjadi Poros Tengah II. Hal ini bisa terwujud jika suara Partai Demokrat di bawah 15% sehingga tidak memperoleh mitra koalisi dan tiket capres.
Hasil Survei LSI Oktober 2013 menyatakan, elektabilitas Partai Golkar sebesar 20,4%. Kemudian, PDI Perjuangan 18,7% dan Partai Demokrat 9,8%. Kemudian diikuti Partai Gerindra (6,6%), PAN (5,2%), PPP (4,6%), PKB (4,6%), PKS (4,4%), Partai Hanura (3,4%), Partai Nasdem (2,0%), PBB (0,6%), PKPI (0,3%) dan tidak menjawab (19,4%).
Peneliti LSI Ardian Sopa mengatakan jika hasil pemilu seperti survei dan persyaratan capres adalah diajukan parpol dengan suara nasional 25 persen dan perolehan kursi DPR 20 persen, maka hanya Golkar dan PDIP yang bisa mengajukan capres. Dengan hasil survei itu, ujar dia, masih terbuka lahirnya Poros Tengah II yang mendapat sisa satu tiket capres dan cawapres 2014.
LSI mengkategorikan Golkar dan PDIP sebagai partai papan atas karena elektabilitasnya mendekati 20 persen. Sedangkan partai yang elektabilitasnya di bawah 10 persen masuk partai papan tengah. Mereka ini terdiri dari lima parpol berlatarbelakang nasionalis: Demokrat, Gerindra, Hanura, Nasdem, dan PKPI. Kemudian lima parpol Islam papan tengah: PAN, PKB, PPP, PKS, dan PBB. LSI memprediksi, capres yang diusung poros tengah adalah tokoh nasionalis dan cawapresnya berasal dari tokoh Islam.
Sesuai survei LSI, tokoh nasionalis parpol papan tengah yang dipilih responden yaitu Joko Widodo (38,3%), Prabowo Subianto (11,1%) dan Wiranto (10%). Sedangkan posisi cawapres dari parpol Islam, yaitu Hatta Rajasa (31,3%), Yusril Ihza Mahendra (15,2%), Muhaimin Iskandar (11,8%), Suryadhama Ali (10,7%) dan Anis Matta (7,5%).
Sedangkan menurut hasil survei Indo Barometer yang dilansir pada 22 Desember 2013, PDIP bakal kalah apabila ngotot memasang Megawati sebagai capres. Dari berbagai hasil survei sejauh ini, tampaknya pemilu 2014 akan menghasilkan tiga atau empat partai besar yang mendapat suara di atas 10 persen. Keempat partai itu adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengungkapkan dari semua parpol, ada dua parpol yang layak dikedepankan menjadi dua partai terbesar, entah karena kekuatan basis pendukung maupun kekuatan figurnya, yakni PDI Perjuangan dan Partai Golkar.
Antara Jokowi dan Megawati
Dari PDIP, pilihan capres yang ada sejauh ini mengerucut pada dua nama, yaitu Megawati dan Jokowi. Ada kelompok yang menginginkan Megawati maju kembali dan ada yang ingin Jokowi.
“Jokowi dipertimbangkan karena sejumlah alasan di antaranya elektabilitasnya yang tinggi,” kata Qodari.
Bila merunut pada hasil survei Indobarometer, Jokowi sebagai capres PDIP akan selalu memenangkan pertarungan di pilpres mendatang melawan siapa pun bakal capres partai lainnya. Sebaliknya, Megawati akan cenderung kalah bila maju sebagai capres dihadapkan pada tokoh tertentu.
Di kalangan pemilih PDIP sendiri, prosentase pemilih Jokowi lebih solid daripada Megawati. Jika yang jadi capres adalah Jokowi, maka 76,8 persen pemilih PDIP memilih Jokowi. Sementara Megawati hanya 46,4 persen.
Dari kalangan kampus, survei Pusat Kajian dan Kepakaran Statistika (PK2D) Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung juga tetap menempatkan pria Solo itu sebagai orang yang paling populer di kalangan etnis Sunda. Ini merupakan fenomena yang cukup unik.
Survei dilakukan dari tanggal 6 -16 Desember 2013. Jumlah responden dalam survei ini sebanyak 1.587 orang, dengan sampling error 3%. Dari 26 Daerah Pemilihan atau Dapil yang tersebar di Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, hasil survei menempatkan Jokowi unggul di semua Dapil.
Tingkat popularitas Jokowi di survei ini melampaui Capres Partai Golkar Aburizal Bakrie, dan di bawah Ical ada nama mantan Ketum DPP Partai Golkar yang juga kini digadang-gadang oleh sejumlah parpol menjadi Capres, yakni Jusuf Kalla.
Tak Ada Pilihan Lain
Peneliti Senior Political Research Institute for Democracy (PRIDE) Indonesia Agus Herta Sumarto punya pendapat sendiri soal meroketnya mantan Wali Kota Solo ini menjelang Pemilu 2014.
Menurut Agus, sosok Jokowi yang merajai berbagai hasil survei karena warga Jakarta maupun rakyat Indonesia pada umumnya tidak punya pilihan lain atas calon pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut argumennya, banyak rakyat melihat Jokowi sebagai figur pemimpin yang baru, dengan cara dan strategi memimpin berbeda dari pemimpin-pemimpin yang lama. Rakyat seperti penasaran bagaimana hasilnya jika figur baru dengan gaya baru yang membumi ini memimpin sebuah negara.
“Orang melihat Jokowi itu figur pemimpin yang baru. Berbeda dengan figur para pemimpin yang lama. Ada sesuatu yang membuat rakyat menyenangi pribadinya,” kata Agus.
Agus menyimpulkan seperti itu karena menurutnya prestasi Jokowi yang signifikan tak dapat diukur dari masa satu tahun memimpin Jakarta sekarang ini. Bahkan ada beberapa target tak terpenuhi seperti realisasi penyerapan anggaran dalam APBD DKI 2013 yang baru tercapai 68%.
“Jokowi dari segi kualitas tidak bagus-bagus amat. Realisasi anggaran yang masih rendah, itu bukan prestasi yang baik bagi seorang pemimpin. Selain itu, kita belum yakin bisa melihat kinerja Jokowi yang signifikan dalam membenahi Kota Jakarta. Tetapi publik melihat tidak ada calon lain yang sebaik Jokowi. Masyarakat bisa terbuka kalau melihat calon lain merupakan figur pemimpin yang baru dan bersih selain Jokowi,” ujarnya.
Dilema Etika
Secara konstitusi, tidak ada larangan Jokowi menjadi capres. Namun dari segi etika politik, menurut Agus, Jokowi belum layak maju karena belum ada ukuran pasti tentang hasil pekerjaannya sebagai gubernur DKI.
Diakuinya track record Jokowi dalam menghasilkan berbagai kebijakan publik sudah bagus dibandingkan pemimpin sebelumnya. Tetapi secara kinerja, belum terlihat hasil dalam mengatasi masalah Jakarta.
“Pekerjaannya belum ada yang berhasil. Kinerjanya kurang bagus. Meski track record-nya sudah benar. Seperti kebijakan penanganan banjir sudah benar, tetapi sampai saat ini banjir masih ada. Kemacetan juga begitu. Jadi belum ada hasil yang signifikan,” paparnya.
Bila wacana Jokowi maju sebagai capres terwujud, maka akan menjadi sebuah dilema bagi warga Jakarta, karena program-program pembangunan yang direncanakan Jokowi akan ditinggalkan begitu saja, tambahnya.
Akhirnya, Semua Tergantung Megawati
Selama Jokowi masih menjadi kader PDIP -- partai dengan budaya kepatuhan pada alur komando -- maka maju-tidaknya dia sebagai capres akan ditentukan oleh pimpinan partai, Megawati. Ketokohan di PDIP sama pentingnya seperti di Demokrat, namun bedanya garis-garis partai PDIP dipatuhi lurus hingga ke akar rumput.
Mereka yang mengikuti dari dekat cara kerja partai nasionalis ini akan tahu prinsip berikut: patuh atau keluar sendiri dari partai. Itulah kenapa PDIP jarang memecat kadernya, tidak seperti Demokrat atau partai-partai lain.
Pertanyaan menarik: bagaimana jika Megawati tetap maju sebagai capres dan menggandeng Jokowi sebagai wakilnya?
“Orang melihat Jokowi figur pemimpin baru. Kalau digandeng dengan Mega yang merupakan tokoh lama, maka akan banyak yang antipati terhadap Mega. Terjadilah kekecewaan publik, karena mereka menginginkan Jokowi sebagai capres, bukan cawapres,” tukas Agus.
Konklusi dari semua analisis dan hasil jajak pendapat tersebut, keberadaan Jokowi menjadi capres dihadapkan dalam satu konflik yang rumit: antara kebutuhan rakyat melawan kepentingan politik.
Poin pertama sudah jelas tercermin dari hasil survei yang mengindikasikan siapa pilihan rakyat. Poin kedua adalah mata pedang yang bahkan seorang Jokowi pun takkan sanggup menghadapinya sendirian. Rakyat boleh punya pilihan, tapi belum tentu pilihan mereka itu tersaji di depan mereka.
Para capres lain yang sadar tak punya kans bisa “memanas-manasi” Megawati – yang menurut survei bisa mereka kalahkan – agar maju sendiri sebagai capres mengamankan trah Sukarno. Atau jika PDIP gagal mencapai ambang batas untuk mengajukan calon sendiri, mitra koalisi bisa saja memberi syarat supaya Jokowi “maksimal” hanya menjadi cawapres. Atau dengan membesar-besarkan kisah bahwa Jokowi figur tak bertanggung jawab karena meninggalkan Solo di tengah masa jabatan, dan kemudian menelantarkan Jakarta dengan menjadi capres. Dalam politik, selalu ada cara.
Para pendukung Jokowi, yang tentu tidak semuanya simpatisan PDIP, harus mengharap kebesaran hati Megawati untuk memuluskan harapan mereka. Namun jadi capres atau tidak, Jokowi tetap merupakan tokoh paling fenomenal dalam dua tahun ini: memenangi pilgub DKI tanpa KTP Jakarta, merajai semua hasil survei capres tanpa sekali pun pernah memimpin parpol, menjadi salah satu yang paling banyak ditonton menurut data YouTube Asia Pasifik, dan tidak mau serakah mengoleksi gitar langka Metallica tanpa memberitahu KPK.
Mungkin dia memang the chosen one!
Banyak yang menginginkan pria yang akrab disapa Jokowi ini maju menjadi calon presiden (capres) dalam pemilu 2014 mendatang. Namun tidak sedikit pula warga yang menginginkan Jokowi menyelesaikan tugas pengabdiannya dalam membangun ibu kota hingga 2017.
Meski banyak lembaga survei yang menyatakan peluang mantan Wali Kota Solo ini sangat besar menjadi capres, namun beberapa pengamat politik memperingatkan bahwa pencapresan Jokowi akan menimbulkan konflik antara kebutuhan rakyat versus kepentingan politik pragmatis.
Pengamat politik senior dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menegaskan sudah banyak survei-survei yang dilakukan berbagai lembaga yang menyatakan Jokowi menduduki peringkat teratas dari banyak calon presiden (capres) yang telah mengajukan diri atau diusulkan oleh elite partai politik.
Keberadaan Jokowi menjadi Presiden RI pada tahun 2014, menurutnya, tidak lagi dilihat sebagai sudah waktunya bagi pria kelahiran Solo tersebut, agar mengembangkan sayapnya ke istana. Melainkan, sudah dilihat sebagai sebuah kebutuhan warga Indonesia atas sosok pemimpin yang baru, transparan dan merakyat.
“Jadi bukan karena sudah waktunya Jokowi maju menjadi capres, karena dia baru satu tahun sebagai Gubernur DKI. Banyak pekerjaan yang belum selesai dia lakukan dalam membangun Jakarta. Tetapi, saat ini, faktor keperluan terhadap sosok pemimpin yang baru dan merakyat paling berperan. Indonesia memerlukan dia sekarang. Makanya di survei-survei, banyak masyarakat menganggap Jokowi pantas menjadi Presiden RI selanjutnya,” kata Arbi kepada Beritasatu.com, Minggu (29/12).
Dari satu tahun kepemimpinannya di Jakarta, cara peraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award 2010 ini dalam menjalankan kekuasaannya dikenal sangat santun, dekat pada rakyat, apa adanya, sederhana, transparan dan lebih terbuka kepada warga yang membutuhkan pertolongannya.
“Cara-cara dia melakukan kekuasaannya telah menjadi kebutuhan rakyat Indonesia. Karena capres-capres lainnya tidak bisa memberikan apa yang dibutuhkan rakyat Indonesia terhadap sosok pemimpin. Hanya Jokowi yang dibutuhkan rakyat saat ini,” kata Arbi.
Hal itu terbukti, ungkapnya, dari survei berdasarkan tingkat elektabilitas, Jokowi selalu merajai hasilnya. Baru satu tahun dia memimpin Jakarta, pria yang juga pengusaha mebel ini sudah berada di atas angin. Hati dan mata warga sudah tertuju pada sosok pria bertubuh kurus dan tinggi ini.
“Memang untuk menjadi capres, harus ada partai politik yang menaungi dan mendukung Jokowi. Tetapi tetap saja rakyat yang menentukan terpilih atau tidaknya seorang capres. Karena itu warga Jakarta tidak boleh mengeluh ditinggalkan Jokowi. Karena kalau Indonesia tidak dipegang oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya, maka akan hancurlah negeri ini,” tegas Arbi.
Merajai Hasil Survei
Apa yang disampaikan oleh Arbi hanya menggarisbawahi hasil berbagai jajak pendapat. Dari beberapa hasil survei yang dapat dirangkum DetikPlus selama satu tahun ini, baik yang dilakukan di Jakarta maupun di provinsi lain, Jokowi mengalahkan para tokoh politik yang jauh lebih senior.
Misalnya hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI), duet Jokowi dengan Hatta Rajasa dianggap sebagai pasangan capres dan cawapres paling ideal. Keduanya dinilai merepresentasikan nasionalis-Islam, sehingga cocok menjadi Poros Tengah II. Hal ini bisa terwujud jika suara Partai Demokrat di bawah 15% sehingga tidak memperoleh mitra koalisi dan tiket capres.
Hasil Survei LSI Oktober 2013 menyatakan, elektabilitas Partai Golkar sebesar 20,4%. Kemudian, PDI Perjuangan 18,7% dan Partai Demokrat 9,8%. Kemudian diikuti Partai Gerindra (6,6%), PAN (5,2%), PPP (4,6%), PKB (4,6%), PKS (4,4%), Partai Hanura (3,4%), Partai Nasdem (2,0%), PBB (0,6%), PKPI (0,3%) dan tidak menjawab (19,4%).
Peneliti LSI Ardian Sopa mengatakan jika hasil pemilu seperti survei dan persyaratan capres adalah diajukan parpol dengan suara nasional 25 persen dan perolehan kursi DPR 20 persen, maka hanya Golkar dan PDIP yang bisa mengajukan capres. Dengan hasil survei itu, ujar dia, masih terbuka lahirnya Poros Tengah II yang mendapat sisa satu tiket capres dan cawapres 2014.
LSI mengkategorikan Golkar dan PDIP sebagai partai papan atas karena elektabilitasnya mendekati 20 persen. Sedangkan partai yang elektabilitasnya di bawah 10 persen masuk partai papan tengah. Mereka ini terdiri dari lima parpol berlatarbelakang nasionalis: Demokrat, Gerindra, Hanura, Nasdem, dan PKPI. Kemudian lima parpol Islam papan tengah: PAN, PKB, PPP, PKS, dan PBB. LSI memprediksi, capres yang diusung poros tengah adalah tokoh nasionalis dan cawapresnya berasal dari tokoh Islam.
Sesuai survei LSI, tokoh nasionalis parpol papan tengah yang dipilih responden yaitu Joko Widodo (38,3%), Prabowo Subianto (11,1%) dan Wiranto (10%). Sedangkan posisi cawapres dari parpol Islam, yaitu Hatta Rajasa (31,3%), Yusril Ihza Mahendra (15,2%), Muhaimin Iskandar (11,8%), Suryadhama Ali (10,7%) dan Anis Matta (7,5%).
Sedangkan menurut hasil survei Indo Barometer yang dilansir pada 22 Desember 2013, PDIP bakal kalah apabila ngotot memasang Megawati sebagai capres. Dari berbagai hasil survei sejauh ini, tampaknya pemilu 2014 akan menghasilkan tiga atau empat partai besar yang mendapat suara di atas 10 persen. Keempat partai itu adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengungkapkan dari semua parpol, ada dua parpol yang layak dikedepankan menjadi dua partai terbesar, entah karena kekuatan basis pendukung maupun kekuatan figurnya, yakni PDI Perjuangan dan Partai Golkar.
Antara Jokowi dan Megawati
Dari PDIP, pilihan capres yang ada sejauh ini mengerucut pada dua nama, yaitu Megawati dan Jokowi. Ada kelompok yang menginginkan Megawati maju kembali dan ada yang ingin Jokowi.
“Jokowi dipertimbangkan karena sejumlah alasan di antaranya elektabilitasnya yang tinggi,” kata Qodari.
Bila merunut pada hasil survei Indobarometer, Jokowi sebagai capres PDIP akan selalu memenangkan pertarungan di pilpres mendatang melawan siapa pun bakal capres partai lainnya. Sebaliknya, Megawati akan cenderung kalah bila maju sebagai capres dihadapkan pada tokoh tertentu.
Di kalangan pemilih PDIP sendiri, prosentase pemilih Jokowi lebih solid daripada Megawati. Jika yang jadi capres adalah Jokowi, maka 76,8 persen pemilih PDIP memilih Jokowi. Sementara Megawati hanya 46,4 persen.
Dari kalangan kampus, survei Pusat Kajian dan Kepakaran Statistika (PK2D) Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung juga tetap menempatkan pria Solo itu sebagai orang yang paling populer di kalangan etnis Sunda. Ini merupakan fenomena yang cukup unik.
Survei dilakukan dari tanggal 6 -16 Desember 2013. Jumlah responden dalam survei ini sebanyak 1.587 orang, dengan sampling error 3%. Dari 26 Daerah Pemilihan atau Dapil yang tersebar di Kabupaten dan Kota di Jawa Barat, hasil survei menempatkan Jokowi unggul di semua Dapil.
Tingkat popularitas Jokowi di survei ini melampaui Capres Partai Golkar Aburizal Bakrie, dan di bawah Ical ada nama mantan Ketum DPP Partai Golkar yang juga kini digadang-gadang oleh sejumlah parpol menjadi Capres, yakni Jusuf Kalla.
Tak Ada Pilihan Lain
Peneliti Senior Political Research Institute for Democracy (PRIDE) Indonesia Agus Herta Sumarto punya pendapat sendiri soal meroketnya mantan Wali Kota Solo ini menjelang Pemilu 2014.
Menurut Agus, sosok Jokowi yang merajai berbagai hasil survei karena warga Jakarta maupun rakyat Indonesia pada umumnya tidak punya pilihan lain atas calon pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut argumennya, banyak rakyat melihat Jokowi sebagai figur pemimpin yang baru, dengan cara dan strategi memimpin berbeda dari pemimpin-pemimpin yang lama. Rakyat seperti penasaran bagaimana hasilnya jika figur baru dengan gaya baru yang membumi ini memimpin sebuah negara.
“Orang melihat Jokowi itu figur pemimpin yang baru. Berbeda dengan figur para pemimpin yang lama. Ada sesuatu yang membuat rakyat menyenangi pribadinya,” kata Agus.
Agus menyimpulkan seperti itu karena menurutnya prestasi Jokowi yang signifikan tak dapat diukur dari masa satu tahun memimpin Jakarta sekarang ini. Bahkan ada beberapa target tak terpenuhi seperti realisasi penyerapan anggaran dalam APBD DKI 2013 yang baru tercapai 68%.
“Jokowi dari segi kualitas tidak bagus-bagus amat. Realisasi anggaran yang masih rendah, itu bukan prestasi yang baik bagi seorang pemimpin. Selain itu, kita belum yakin bisa melihat kinerja Jokowi yang signifikan dalam membenahi Kota Jakarta. Tetapi publik melihat tidak ada calon lain yang sebaik Jokowi. Masyarakat bisa terbuka kalau melihat calon lain merupakan figur pemimpin yang baru dan bersih selain Jokowi,” ujarnya.
Dilema Etika
Secara konstitusi, tidak ada larangan Jokowi menjadi capres. Namun dari segi etika politik, menurut Agus, Jokowi belum layak maju karena belum ada ukuran pasti tentang hasil pekerjaannya sebagai gubernur DKI.
Diakuinya track record Jokowi dalam menghasilkan berbagai kebijakan publik sudah bagus dibandingkan pemimpin sebelumnya. Tetapi secara kinerja, belum terlihat hasil dalam mengatasi masalah Jakarta.
“Pekerjaannya belum ada yang berhasil. Kinerjanya kurang bagus. Meski track record-nya sudah benar. Seperti kebijakan penanganan banjir sudah benar, tetapi sampai saat ini banjir masih ada. Kemacetan juga begitu. Jadi belum ada hasil yang signifikan,” paparnya.
Bila wacana Jokowi maju sebagai capres terwujud, maka akan menjadi sebuah dilema bagi warga Jakarta, karena program-program pembangunan yang direncanakan Jokowi akan ditinggalkan begitu saja, tambahnya.
Akhirnya, Semua Tergantung Megawati
Selama Jokowi masih menjadi kader PDIP -- partai dengan budaya kepatuhan pada alur komando -- maka maju-tidaknya dia sebagai capres akan ditentukan oleh pimpinan partai, Megawati. Ketokohan di PDIP sama pentingnya seperti di Demokrat, namun bedanya garis-garis partai PDIP dipatuhi lurus hingga ke akar rumput.
Mereka yang mengikuti dari dekat cara kerja partai nasionalis ini akan tahu prinsip berikut: patuh atau keluar sendiri dari partai. Itulah kenapa PDIP jarang memecat kadernya, tidak seperti Demokrat atau partai-partai lain.
Pertanyaan menarik: bagaimana jika Megawati tetap maju sebagai capres dan menggandeng Jokowi sebagai wakilnya?
“Orang melihat Jokowi figur pemimpin baru. Kalau digandeng dengan Mega yang merupakan tokoh lama, maka akan banyak yang antipati terhadap Mega. Terjadilah kekecewaan publik, karena mereka menginginkan Jokowi sebagai capres, bukan cawapres,” tukas Agus.
Konklusi dari semua analisis dan hasil jajak pendapat tersebut, keberadaan Jokowi menjadi capres dihadapkan dalam satu konflik yang rumit: antara kebutuhan rakyat melawan kepentingan politik.
Poin pertama sudah jelas tercermin dari hasil survei yang mengindikasikan siapa pilihan rakyat. Poin kedua adalah mata pedang yang bahkan seorang Jokowi pun takkan sanggup menghadapinya sendirian. Rakyat boleh punya pilihan, tapi belum tentu pilihan mereka itu tersaji di depan mereka.
Para capres lain yang sadar tak punya kans bisa “memanas-manasi” Megawati – yang menurut survei bisa mereka kalahkan – agar maju sendiri sebagai capres mengamankan trah Sukarno. Atau jika PDIP gagal mencapai ambang batas untuk mengajukan calon sendiri, mitra koalisi bisa saja memberi syarat supaya Jokowi “maksimal” hanya menjadi cawapres. Atau dengan membesar-besarkan kisah bahwa Jokowi figur tak bertanggung jawab karena meninggalkan Solo di tengah masa jabatan, dan kemudian menelantarkan Jakarta dengan menjadi capres. Dalam politik, selalu ada cara.
Para pendukung Jokowi, yang tentu tidak semuanya simpatisan PDIP, harus mengharap kebesaran hati Megawati untuk memuluskan harapan mereka. Namun jadi capres atau tidak, Jokowi tetap merupakan tokoh paling fenomenal dalam dua tahun ini: memenangi pilgub DKI tanpa KTP Jakarta, merajai semua hasil survei capres tanpa sekali pun pernah memimpin parpol, menjadi salah satu yang paling banyak ditonton menurut data YouTube Asia Pasifik, dan tidak mau serakah mengoleksi gitar langka Metallica tanpa memberitahu KPK.
Mungkin dia memang the chosen one!